TATA CARA SHOLAT SEBAGAIMANA
DIAJARKAN NABI SHOLLALLAAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Fasal-fasal
yang kami jelaskan kali ini adalah penjelasan tentang tata cara sholat
sebagaimana diajarkan oleh Nabi Shollallaahu 'alaih wa sallam, yang mana tata
cara ini sudah umum dilakukan oleh kaum Ahlussunnah Wal Jama'ah.Dan bukan Pembahasan Mengenai Tata
Cara Sholat Menurut Nashiruddin al-Albani]
Sholat merupakan salah satu bentuk
ibadah yang diwajibkan Allah Ta’aala kepada seluruh ummat Islam. Seorang muslim
yang melaksanakan sholat dengan istiqamah, menjaga kekhusyu’an dan ikhlas untuk
menyembah dan mengharap ridho-Nya akan merasakan betapa besar faidah dan
fadhilah sholat baginya.
Sholat juga merupakan sebuah ibadah
yang tata caranya sudah ditentukan dan dicontohkan oleh Rasulullaah
Shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullaah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
صلوا
كما رأيتموني أصلي
Sholatlah kalian sebagaimana kalian
melihat aku sholat. (HR. Bukhari)
Oleh sebab itulah, setiap muslim
harus tahu bagaimana tata cara sholat sebagaimana Rasulullaah
Shollallaahu ‘alaihi wa sallam sholat. Dan inilah penjelasannya.
1. Berdiri Menghadap Kiblat
Sholat diawali dengan berdiri
menghadap kiblat bagi orang yang mampu. Jika tidak mampu dapat dilakukan dengan
cara duduk atau tidur miring, sebagaimana sabda Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam:
Telah menceritakan kepada kami
‘Abdan dari ‘Abdullah dari Ibrahim bin Thohman berkata, telah menceritakan
kepada saya al-Husain al-Muktib dari Abu Buraidah dari Imran ibn Hushain
Radhiyallaahu ‘anhu ia berkata: Pada saat aku terkena penyakit bawasir, aku
bertanya kepada Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam tentang caraku mengerjakan
sholat. Maka Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sholatlah dengan
cara berdiri, jika tidak mampu maka duduk, dan bila tidak mampu maka tidur
miring.” (Shahih al-Bukhari, hadits no. 1050)
Hukum berdiri di dalam melaksanakan
sholat fardhu adalah wajib. Sementara pada sholat sunnah, hukumnya adalah
sunnah. Di dalam sebuah hadits shahih disebutkan:
Telah menceritakan kepada kami Abu
Ma’mar, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Abdul Warits, ia berkata:
telah menceritakan kepada kami Husain al-Mu’allim dari Abdullah ibn Buraidah
bahwa ‘Imran ibn Hushain Radhiyallaahu ‘anhu adalah seorang yang pernah
menderita sakit wasir. Dan suatu ketika Abu Ma’mar berkata, dari Hushain yang
berkata: Aku pernah bertanya kepada Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam perihal
seseorang yang melaksanakan sholat dengan duduk. Maka Beliau Shollallaahu
‘alaihi wa sallam menjawab: “Siapa yang sholat dengan berdiri maka itu lebih
utama. Dan siapa yang melaksanakan sholat dengan duduk maka baginya setengah
pahala dari orang yang sholat dengan berdiri dan siapa yang sholat dengan
dengan tidur (berbaring) maka baginya setengah pahala orang yang sholat
dengan duduk.” Berkata Abu Abdullah: “Menurutku yang dimaksud dengan tidur
adalah berbaring.” (Shahih al-Bukhari, hadits no. 1049)
Tata cara berdiri adalah kedua kaki
diluruskan. Antara ujung keduanya direnggangkan sekira satu jengkal, dan
diantara kedua tumit sekira empat jari. Wajah ditundukkan memandang ke arah
tempat sujud. Kemudian membaca surat an-Naas sebagai permohonan kepada Allah
Ta’aala agar dijauhkan dari godaan syaithan. Di sebutkan di dalam kitab Bidayah
al-Hidayah karya al-Imam al-Ghazali Rahimahullaahu Ta’aala:
“Hendaklah berdiri menghadap kiblat
seraya meluruskan dua kaki dan tidak merapatkannya. Berdiri dengan tegak
kemudian membaca surah an-Naas sebagai permohonan agar dijaga dari godaan
syaithan yang terkutuk.” (Bidayatu al-Hidayah halaman 44)
Setelah itu disunnahkan melafadzkan
niat dengan tujuan untuk membantu
menghadirkan niat di dalam hati. Dalam hal ini Syaikh
Muhammad bin Umar an-Nawawi al-Bantani di dalam kitab Kasyifatu as-Saja
Syarh Safinatu an-Najah pada sub bab yang menyebutkan rukun-rukun Sholat,
beliau menjelaskan:
“Adapun yang pertama adalah niat di
dalam hati. Tidak wajib diucapkan dengan lisan. Akan tetapi mengucapkan niat
hukumnya adalah sunnah untuk membantu hati melafadzkan niat.” (Kasyifatu
as-Saja Syarh Safinah an-Najah halaman 65)
Dalam beberapa kesempatan, Nabi
Shollallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melafadzkan niat, misalnya dalam ibadah
Haji. Dijelaskan dalam sebuah hadits:
Telah menceritakan kepada kami Yahya
bin Yahya telah mengabarkan kepada kami Husyaim dari yahya bin Abu Ishaq dan
Abdul Aziz bin Shuhaib dan Humaid bahwa mereka mendengar dari Shahabat Anas
Radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi
wa sallam mengucapkan, “Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu untuk umrah dan
haji.” (Shahih Muslim No. 2194)
Konteks hadits diatas berbicara
dalam persoalan haji. Akan tetapi sholat dapat di-qiyas-kan
kepada haji. Jika ketika melaksanakan ibadah haji sunnah melafadzkan niat, maka
dalam sholat juga demikian, dianjurkan melafadzkan niat dengan tujuan membantu
hati agar juga dapat melafadzkan niat. Lebih jelas lagi ditegaskan oleh Syaich
Hasan ibn ‘Ali as-Saqafi sebagai berikut:
“Melafadzkan niat ketika hendak
bertakbiratul-ihram adalah sunnah. Pada saat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Seluruh amal perbuatan bergantung kepada niat”, Nabi
Shollallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah bersabda, “Keraskanlah
(lafadzkanlah) niatmu”. Oleh karena itu, orang yang menghadirkan niat di dalam
hatinya dan tidak diucapkan, maka sah sholatnya. Demikian pula jika ia
mengucapkan dengan lisannya, sholatnya juga sah dan ia telah melaksanakan
perbuatan sunnah. Hal yang demikian ini sangat berbeda dengan pendapat
segelintir orang yang mengatakan bahwa perbuatan tersebut adalah bid’ah yang
tercela. Bagaimana mungkin melafadzkan niat menjadi bid’ah sedangkan di dalam
beberapa ibadah yang lain Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam justru
melakukannya (melafadzkan niat), misalnya pada saat Beliau Shollallaahu ‘alaihi
wa sallam memperdengarkan kepada orang banyak di waktu melaksanakan ihram untuk
haji, yakni ucapan Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam: “Labbaika bi ‘umratin
wa hajjin” (Yaa Allah, aku penuhi panggilan-Mu untuk ‘umrah dan haji). Begitu
pula ketika pada suatu saat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam menemui
sayyidah ‘Aisyah Radhiyallaahu ‘anhaa untuk makan pagi. Nabi Shollallaahu
‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah ada makanan?” ‘Aisyah Radhiyallaahu ‘anhaa
menjawab “Tidak ada”. Kemudian Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan,
“Kalau begitu aku akan berpuasa”. (Shahih Sifat Shalat an-Nabi halaman 68)
2. Takbiratul Ihram
Setelah melafadzkan niat, segera
mengucapkan takbiratul-ihram. Disebut takbiratul-ihram karena dengan takbir
tersebut, dapat mengharamkan semua perbuatan yang sebelumnya boleh dilakukan,
misalnya berbicara, makan, minum, bergerak yang banyak dan sebagainya.
Pada saat mengucapkan
takbiratul-ihram, niat sholat disertakan di dalam hati. Inilah niat yang
sesungguhnya di dalam sholat. Artinya jika seseorang berniat sebelum
takbiratul-ihram maka sholatnya tidak sah, begitu pula jika berniat sesudah
takbiratul-ihram.
Di dalam kitab Kasyifatu as-Saja
Syarh Safinatu an-Najah disebutkan:
“Dan wajib menyertakan niat dengan
takbiratul ihram, karena hal itu adalah kewajiban pertama yang dilaksanakan
dalam sholat.” (Kasyifat as-Saja halaman 65)
Adanya kewajiban niat ini
berdasarkan sabda Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam:
Telah menceritakan kepada kami
Abdullah ibn Maslamah ia berkata, telah mengabarkan kepada kami Malik dari
Yahya bin Sa’id dari Muhammad ibn Ibrahim dari Alqamah ibn Waqash dari Umar ibn
Khatthab Radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata: “Saya mendengar Rasulullah
Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersada, “Seluruh amal perbuatan tergantung
kepada niatnya. Dan setiap orang akan memperoleh apa yang ia niatkan. Barangsiapa
niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah
dan Rasul-Nya. Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin ia peroleh
atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah
kepada apa yang ia diniatkan.” (Shahih al-Bukhari hadits no. 52)
Ketika melaksanakan
takbiratul-ihram, disunnahkan mengangkat tangan hingga lurus dengan pundak.
Sementara jari-jari tangan diluruskan dan tanpa menggenggam telapak tangan. Di
dalam kitab Bidayah al-Hidayah dijelaskan:
“Angkatlah kedua tanganmu ketika
takbiratul-ihram sampai lurus pada kedua pundakmu setelah sebelumnya tegak
lurus ke bawah. Kedua tangan dibentangkan dan jari-jarinya diluruskan,
tidak terlalu dirapatkan atau direnggangkan. Caranya adalah tangan diangkat
hingga dua jempol bertemu dengan dua daun telinga, dan jari telunjuk berada di
atas dua telinga dan telapak tangan berada di atas kedua pundak.” (Bidayah
al-Hidayah halaman 45)
Hal ini juga dilaksanakan ketika
akan ruku’, I’tidal dan berdiri dari tasyahud awal. Didasarkan pada hadits
shahih riwayat Abdullah ibn Umar Radhiyallaahu ‘anhu:
Telah menceritakan kepada kami Abu
al-Yaman ia berkata, telah mengabarkan kepada kami Syu’aib dari az-Zuhri ia
berkata, telah mengabarkan kepada kami Salim bin ‘Abdillah Radhiyallaahu ‘anhu,
sesungguhnya Abdillah ibn Umar berkata: “Saya melihat Nabi Shollallaahu ‘alaihi
wa sallam memulai sholat dengan takbiratul-ihram seraya mengangkat kedua
tangannya hingga lurus pada kedua pundaknya. Hal itu dilakukan juga pada saat
takbir untuk ruku’. Dan melakukannya ketika mengucapkan “sami’allaahu liman
hamidah”, kemudian membaca “robanaa lakal-hamdu”. Tetapi Nabi Shollallaahu ‘alaihi
wa sallam tidak mengangkat kedua tangannya ketika akan sujud dan berdiri dari
sujud.” (Shahih al-Bukhari, hadits no. 696)
3. Bersedekap
Setelah mengucapkan takbiratul-ihram, tangan
bersedekap. Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri. Dalam hadits shohih
disebutkan:
Dari Wa’il bin Hujr ia berkata, “Saya melihat
Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam ketika berdiri di dalam sholat,
beliau menggenggam tangan kanan atas tangan kirinya.” (Sunan an-Nasa’i, juz 2,
halaman 125 [887], sunan ad-Daruquthni, juz 1, halaman 286 [11])
Menurut madzhab Syafi’i, posisi bersedekap adalah
tangan kanan memegang pergelangan tangan kiri, kemudian diletakkan di atas
pusar di bawah dada. Berikut ini penjelasan al-Imam an-Nawawi di dalam kitabnya
Shahih Muslim Bi Syarh an-Nawawi juz 4 halaman 114:
“Sunnah meletakkan tangan yang kanan di atas yang
kiri, diposisikan di bawah dada di atas pusar. Ini adalah yang masyhur dalam
madzhab Syafi’i, sejalan dengan pendapat mayoritas ulama. Sementara menurut Abu
Hanifah, Sufyan ats-Tsauri, Ishaq ibn Rahawaih dan Abu Ishaq al-Marwazi
dari kalangan Ash-haabusy-Syafi’i meletakkan kedua tangan tersebut di bawah
pusar.” (Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawi juz 4 halaman 114)
Lebih lanjut al-Imam Ghazali di dalam Ihya’ Ulumuddin
menjelaskan:
“Kemudian meletakkan kedua tangan di atas pusar di
bawah dada. Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri untuk memuliakan yang
kanan. Dengan cara ditekan dan membentangkan jari telunjuk dan jari tengah
kanan di atas lengan, dan menggenggam pergelangan tangan dengan ibu jari, jari
manis dan jari kelingking.” (Ihya’ Ulumiddin juz 2 halaman 274)
Cara seperti inilah yang dianjurkan dalam bersedekap.
Dan telah diamalkan oleh para shahabat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam dan
generasi sesudahnya. Al-Imam at-Turmudzi Rahimahullaahu Ta’aala berkata:
“Cara ini telah diamalkan oleh ahli ilmu dari kalangan
shahabat, tabi’in dan generasi sesudahnya. mereka semua meriwayatkan bahwa
posisi bersedekap adalah meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri. Di antara
mereka ada yang meriwayatkan bahwa posisi kedua tangan itu adalah di atas
pusar, sebagian yang lain mengatakan di bawah pusar.” (Sunan at-Tirmidzi, juz 2
halaman 32 [253])
Mengukuhkan penjelasan at-Tirmidzi tersebut, Abu Dawud
juga meriwayatkan cara bersedekap yang diamalkan oleh sayyidina Ali
Radhiyallaahu ‘anhu:
“Dari ibn Jarir adh-Dhabbiy dari ayahnya, ia berkata,
“Saya melihat sayyidina ‘Ali Radhiyallaahu ‘anhu ketika sholat memegang tangan
kiri dengan tangan kanannya pada pergelangan tangan, di atas pusar. Imam Abu
Dawud mengatakan, “Diriwayatkan juga dari Sa’id bin Jubair bahwa tangan itu
diletakkan di bawah pusar”. Abu Mijlaz menyatakan tangan itu diletakkan di
bawah pusar, dan itu juga diriwayatkan dari Abu Hurairah, namun riwayat ini
tidak kuat.” (Sunan Abu Dawud, juz 1 halaman 260 [757])
Memang ada hadits yang menjelaskan bahwa Nabi
Shollallaahu ‘alaihi wa sallam meletakkan kedua tangannya di dada, yakni:
“Dari Sulaiman bin Musa, Thawus berkata, bahwa di
dalam sholat, Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangan yang
kanan di atas dadanya.”
Namun, hadits ini tidak dapat dijadikan dalil, karena
tergolong hadits dha’if, sebab ada rawi yang tidak mencukupi syarat sebagai
perawi tsiqah, yaitu Sulaiman bin Musa.
Menurut Syeich Hasan ibn Ali As-Saqafi, kelemahan
hadits di atas karena dua alasan:
“Yang pertama: Kata al-Bukhari, Sulaiman bin
Musa tersebut banyak meriwayatkan hadits munkar. Kata an-Nasa’i, dia salah
seorang ahli fiqh tetapi tidak kuat dalam periwayatan sebagaimana disebutkan di
dalam kitab Tahdzibul Kamal (12/97).
Yang Kedua: Hadits tersebut mursal, yang diriwayatkan
secara mursal oleh Thawus, sedangkan hadits mursal adalah bagian dari hadits
dha’if.” (Tanaqqudhat al-Albani al-Wadhihaat, juz 3 halaman 49/50)
5. Membaca Surat
Al-Fatihah
Setelah membaca do’a iftitah, dianjurkan untuk diam
sejenak kemudian membaca surat al-Fatihah. Membaca surat al-Fatihah termasuk
daripada rukun sholat, sehingga hukumnya wajib untuk dibaca baik dalam sholat
fardhu maupun sholat sunnat. Di dalam kitab al-Umm disebutkan:
“Telah menceritakan kepada kami ar-Rabi’, ia berkata:
telah berkata al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah: bahwasanya Rasulullah
Shollallaahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk membaca ummul-qur’an (surat
al-Fatihah) di dalam sholat. Hal ini menunjukkan bahwa membaca surat al-Fatihah
adalah termasuk ke dalam fardhu sholat dan hendaknya orang yang membaca surat
tersebut membaguskan bacaannya tersebut.
Telah menceritakan kepada kami ar-Rabi’, ia berkata:
telah berkata al-Imam asy-Syafi’i Rahimahullaahu Ta’aala: Diriwayatkan dari
Sufyan bin Uyainah dari az-Zuhri dari Mahmud bin Rabi’ dari Ubadah ibn Shomit
bahwasanya Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kepadanya bahwa
tidak sah sholatnya seseorang yang tidak membaca surat al-Fatihah.” (al-Umm,
juz 2, halaman 243)
Sebagai rukun dari sholat, maka surat al-Fatihah harus
dibaca dengan sempurna, sesuai dengan urutan ayatnya, dan memperhatikan
kaidah-kaidah tajwid. Disebutkan di dalam kitab syarah Sullamut Taufiq:
“Rukun sholat yang keempat ialah membaca daripada
surat al-Fatihah dengan menyertakan basmalah, memperhatikan tasydid,
kesinambungan bacaan, urutan ayat, melafadzkan huruf dengan benar sesuai
makhrajnya dan tidak ada kekeliruan yang dapat merusak maknanya.” (Syarah Sullamuttaufiiq)
Di dalam membaca surat al-Fatihah, ada beberapa hal
penting yang harus diperhatikan, yaitu:
a. Membaca
Ta’awwudz
Surat al-Fatihah adalah bagian dari al-Quran, maka
sebagai adab di dalam membaca ayat-ayat al-Quran adalah dengan membaca Ta’awwudz,
yaitu bacaan:
“Aku memohon perlindungan kepada Allah Ta’aala
daripada gangguan syaithon yang terkutuk.”
Dibaca secara pelan, walaupun pada sholat jahr (sholat
yang bacaannya diucapkan dengan keras). Hal ini dijelaskan oleh Syaikh Nawawi
al-Bantani (Syaikh Muhammad bin Umar an-Nawawi al-Bantani) di dalam kitabnya
Maraqi al-‘Ubudiyyah sebagai berikut:
“Selanjutnya setelah diam sejenak hendaknya
mengucapkan bacaan ta’awwudz { أعوذ بالله من
الشيطان الرجيم } secara pelan.”
Kesunnahan membaca ta’awwudz ini didasarkan atas
Firman Allah Ta’aala:
“Apabila kamu membaca al-Quran, hendaknya kamu meminta
perlindungan kepada Allah dari Syaithan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl: 98)
b. Membaca Basmalah
Membaca surat al-Fatihah diawali dengan basmalah. Hukum
membaca basmalah adalah wajib karena merupakan ayat dari surat al-Fatihah. Maka
dari itu tidak sah sholat seseorang yang meninggalkan bacaan basmalah ini.
Bacaan basmalah adalah bagian dari surat al-Fatihah
didasarkan atas firman Allah Ta’aala:
“Dan sungguh Kami telah berikan kepadamu (Nabi) tujuh
ayat yang berulang-ulang dan al-Quran yang agung” (QS. Al-Hijr: 87)
Al-Imam asy-Syafi’i Rahimahullaahu Ta’aala di dalam
kitabnya al-Umm menjelaskan tentang bacaan basmalah sebagai bagian dari tujuh
ayat yang berulang-ulang sebagai berikut:
“Telah mengkhabarkan kepada kami ar-Rabi’, ia berkata:
telah berkata asy-Syafi’i: Meriwayatkan kepada kami Abdul Majid ibn Abdul Aziz
dari ibn Juraij, ia berkata: mengkhabarkan kepadaku ayahku, dari Sa’id bin
Jubair:{ ولقد أتيناك سبعا من المثاني } ia adalah ummu al-Quran.
Berkata ayahku: Sa’id bin Jubair membacakannya kepadaku hingga selesai
kemudian ia berkata
{
بسم الله الرحمن الرحيم } adalah termasuk ayat yang
tujuh. Berkata Sa’id: telah membaca pula yang demikian ini ibn ‘Abbas
sebagaimana aku membacanya kepada engkau, kemudian ia berkata: {
بسم الله الرحمن الرحيم } adalah termasuk ayat yang
tujuh. “ (al-Umm, juz 2 halaman 244-245)
Yang dimaksud dengan tujuh ayat yang berulang-ulang
adalah surat al-Fatihah, sebab al-Fatihah itu sendiri terdiri dari tujuh ayat
yang dibaca berulang-ulang pada tiap-tiap raka’at shalat. Dalam sebuah hadits
disebutkan:
“Dari Abu Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu ia berkata,
Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Jika kalian membaca
al-hamdulillaah (surat al-Fatihah) maka bacalah bismillaahirrahmaanirrahiim.
Sesungguhnya al-Fatihah itu induk dari al-Quran dan induk al-Kitab serta tujuh
ayat yang diulang-ulang. Dan bismillaahirrahmaanirrahiim adalah salah satu
ayatnya.” (Sunan ad-Daruquthni, juz 1, halaman 312 [36]. Sunan al-Baihaqi, juz
2, halaman 45 [36], sanad hadits ini adalah shahih).
Dari hadits tersebut diatas sangat jelas bahwa bacaan
basmalah adalah ayat yang pertama dari surat al-Fatihah. Sebab jika tanpa
basmalah, maka surat al-Fatihah itu hanya terdiri dari enam ayat, dan tentunya
hal ini tidak sesuai dengan penyebutan tujuh ayat yang berulang-ulang tersebut.
Di hadits yang lain disebutkan:
“Dari Ummu Salamah, sesungguhnya Rasulullah
Shollallaahu ‘alaihi wa sallam di dalam sholat membaca
“Bismillaahirrahmaanirrahiim” dan menghitungnya sebagai ayat pertama,
“Alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin” ayat kedua, “Arrahmaanirrahiim” ayat ketiga,
“Maaliki yaumiddiin” ayat keempat. Dan Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: Begitupula “Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin”, dan beliau
menunjukkan lima jarinya.” (Sunan al-Baihaqi, juz 2, halaman 4 [2214], Shahih
ibn Khuzaimah juz 1, halaman 248 [493], al-Mustadrak ‘alaa ash-Shahihaini juz
1, halaman 356 [848]. Dishahihkan oleh ibn Khuzaimah dan al-Hakim)
Imam asy-Syafi’i Rahimahullaahu Ta’aala mengatakan
bahwa basmalah merupakan bagian dari ayat yang tujuh dalam surat al-Fatihah.
Jika ditinggalkan, baik seluruhnya maupun sebagiannya, maka raka’at sholatnya
dihukumi tidak sah.
“Imam asy-Syafi’i Rahimahullaahu Ta’aala berkata:
Bacaan Bismillaahirrahmaanirrahiim merupakan bagian tujuh ayat dari surat
al-Fatihah. Apabila ditinggalkan atau tidak dibaca sebagian ayatnya, maka
raka’atnya tidak cukup.” (al-Umm Juz 2 halaman 244).
Karena merupakan bagian dari surat al-Fatihah, maka
bacaan basmalah ini dianjurkan untuk dikeraskan bacaannya ketika seseorang
membaca surat al-Fatihah dalam sholat jahr. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi
Shollallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Dari Abu Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu bahwasanya Nabi
Shollallaahu ‘alaihi wa sallam mengeraskan bacaan basmalah.” (Sunan
ad-Daruquthni juz 1 halaman 307 [20], al-Mu’jam al-Kabir juz 10 halaman 277
[10651], al-Mu’jam al-Awsath juz 1 halaman 15 [35])
Kesunnahan mengeraskan bacaan basmalah ini banyak
tercantum di dalam kitab-kitab hadits. Dan amaliah ini selalu diamalkan dari
generasi ke generasi sebagaimana dicontohkan oleh para shahabat Nabi dan
pengikutnya:
“Dari Muhammad bin Abi as-Sirri al-Asqallaani ia
berkata: Aku sering sholat shubuh dan maghrib bermakmum kepada Mu’tamar bin
Sulaiman. Dan ia mengeraskan bacaan basmalah sebelum al-Fatihah dan setelahnya.
Dan aku mendengar Mu’tamar berkata: Cara seperti ini aku lakukan karena aku
mengikuti sholat ayahku. Dan ayahku berkata: Aku mengikuti sholat Anas bin
Malik. Dan Anas bin Malik berkata: Aku mengikuti cara Sholat Rasulullah
Shollallaahu ‘alaihi wa sallam. (al-Mustadrak, juz 1 halaman 385 [854]).
Salah seorang imam terkemuka dari madzhab Syafi’i,
yaitu al-Imam Zakariya Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi di dalam kitabnya Majmu’
Syarah al-Muhadzdzab menyebutkan:
“Berkata ibn Khuzaimah di dalam karyanya, adapun
pendapat yang menyatakan bahwa bacaan basmalah dibaca secara keras, ini adalah
pendapat yang benar. Telah ada hadits dari Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam
dengan sanad yang muttashil (para perawinya tsiqat dan sanadnya benar-benar
bersambung sampai kepada Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam), tidak
diragukan, serta tidak ada keraguan dari para ahli hadits tentang shahih serta
muttashil-nya sanad hadits ini. Selanjutnya ibn Khuzaimah berkata: Telah jelas,
dan telah terbukti bahwa Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam mengeraskan bacaan
basmalah di dalam sholat. Dan mentakhrij pula Abu Hatim ibn Hibban di dalam Shahih-nya
dan ad-Daruquthni di dalam Sunan-nya beliau berkata: Hadits ini shahih, seluruh
perawinya tsiqat. Dan meriwayatkan pula al-Hakim di dalam Mustadrak, beliau
berkata: Hadits ini shahih menurut syarat-syarat al-Bukhari dan Muslim. ”
(Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, juz 3 halaman 302)
c. Membaca Amin
Setelah selesai membaca surat al-Fatihah, hendaknya
membaca Amin. Disebutkan di dalam sebuah hadits:
“Dari Wa’il bin Hujr ia berkata: Saya mendengar Nabi
Shollallaahu ‘alaihi wa sallam membaca “Ghairil maghdhuubi ‘alaihim
waladhdhalliin”, selanjutnya beliau membaca: “Aamiin” dan mengeraskan
suaranya.” (Sunan at-Tirmidzi, juz 2 halaman 27 [248], sunan al_baihaqi, juz 2
halaman 58 [2283])
Sedangkan mengenai tata cara membaca Amin tersebut,
Syaikh Muhammad bin Umar an-Nawawi al-Bantani memberikan penjelasan
sebagai berikut:
“Hendaknya janganlah engkau sambungkan bacaan Amin
dengan bacaan Waladhdholliin. Akan tetapi keduanya dipisahkan dengan berhenti
sejenak, untuk membedakan bacaan dzikr dengan bacaan al-Qur’an. Dan disunnahkan
untuk membaca: ‘Rabbighfirlii’ (Wahai Tuhanku, ampunilah hamba)” (Syarh Maraqi
al-‘Ubudiyyah halaman 48)
Mengenai bacaan “Rabbighfirlii” sebelum membaca “Amin”
ini, Imam Jalaluddin as-Suyuthi menjelaskannya di dalam kitabnya ad-Durr al-Mantsur
fi at-Tafsiir bi al-Ma’tsur:
“Diriwayatkan dari ibn Abi Syaibah dari Ibrahim
an-Nakha’i ia berkata: “Disunnahkan pada saat imam membaca ayat { غير المغضوب عليهم ولا الضالين }, hendaknya mengucapkan do’a: { رب اغفرلي امين} ” (ad-Durr al-Mantsur fi at-Tafsiir
bi al-Ma’tsur juz 1 halaman 92).
6. Membaca Ayat Al-Qur’an
Setelah membaca Amin, sebaiknya berhenti sejenak untuk
sekedar memberikan jeda sebelum membaca ayat al-Quran. Bagi imam, hendaknya ia
berhenti sejenak untuk memberikan kesempatan kepada makmum untuk membaca surat
al-Fatihah.
Syaikh Nawawi al-Bantani menjelaskan hal ini di
dalam kitabnya Maraqi al-Ubudiyyah:
“Disunnahkan bagi imam setelah membaca Amin di dalam
sholat jahr untuk diam sejenak dengan kadar waktu sekiranya makmum dapat membaca
surat al-Fatihah dengan sempurna. Hal ini dilakukan dengan syarat bahwa makmum
pada umumnya terbiasa membaca surat al-Fatihah. Dan hendaknya imam pada waktu
berhenti tersebut, disunnahkan membaca secara sirr (pelan) do’a-do’a, dzikr,
maupun ayat-ayat al-Quran. Dan membaca ayat-ayat al-Quran itulah yang lebih
utama.” (Syarh Maraqi al-Ubudiyyah)
Hukum membaca surat al-Quran adalah sunnah pada
raka’at yang pertama dan raka’at yang kedua. Hal ini didasarkan kepada hadits
Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Dari Musa bin Isma’il ia berkata: berkata Hammam dari
Yahya dari Abdullah bin Abi Qatadah dari ayahnya, bahwasanya Nabi Shollallaahu
‘alaihi wa sallam pada dua raka’at pertama sholat dzuhur membaca surat
al-Fatihah dan dua surat yang lain. Sedangkan pada dua raka’at terakhir hanya
membaca surat al-Fatihah. Kadang kala suara bacaan beliau terdengar oleh kami.
Dan Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam memperpanjang raka’at pertama melebihi
raka’at kedua. Begitu pula yang beliau Shollallaahu ‘alaihi wa sallam lakukan
pada sholat ‘Ashr dan Shubuh.” (Shahih al-Bukhari, juz 3, halaman 236 [734])
Adapun mengenai tata cara di dalam membaca surat
al-Quran dijelaskan di dalam kitab Fath al-Mu’in:
“Disunnahkan membaca Basmalah bagi orang yang membaca
dari pertengahan surat, hal yang demikian ini ditegaskan oleh al-Imam
asy-Syafi’i Rahimahullaahu Ta’aala.” (Fath al-Mu’in, juz 1, halaman 149)
“Pada saat membaca suatu surat, namun tidak
dimaksudkan untuk melanjutkan bacaannya di raka’at kedua, misalnya pada sholat tarawih,
maka membaca satu surat secara sempurna lebih utama daripada membaca sebagian
namun lebih panjang.” (Fath al-Mu’in, juz 1, halaman 149)
“Disunnahkan memperpanjang bacaan surat al-Quran di
raka’at yang pertama daripada raka’at yang kedua, selama tidak ada dalil yang
memerintahkan untuk memperpanjang bacaan di raka’at yang kedua.” (Fath
al-Mu’in, juz 1, halaman 150)
“Disunnahkan untuk membaca surat sesuai urutan di
dalam mushaf dan secara berurutan selama bacaan berikutnya tidak lebih
panjang.” (Fath al-Mu’in, juz1, halaman 150).
8. I’tidal
I’tidal adalah berdiri kembali pada posisi semula
setelah melakukan ruku’ secara sempurna. Ketika bangun dari ruku’ hendaknya
mengangkat kedua tangan dan mengucapkan:
“Allah Ta’aala Maha Mendengar kepada semua hamba yang
memuji-Nya.”
Mengenai tata cara i’tidal, di dalam shahih al-Bukhari
disebutkan:
“Berkata Abu Humaid as-Sa’idi, aku senantiasa menjaga
sholat bersama Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam, aku melihat beliau
apabila bertakbiratul-ihram, beliau mengangkat tangan hingga lurus pada dua
pundaknya. Apabila ruku’ menempatkan kedua tangan di lutut kemudian meluruskan
punggungnya. Pada saat I’tidal mengangkat kepalanya sehingga seluruh ruas
anggota tubuhnya kembali ke posisi semula. Ketika sujud meletakkan kedua
tangan, tidak dibentangkan atau dirapatkan, dan ujung jari-jemari kaki
dihadapkan ke arah kiblat. Ketika duduk pada rakaat kedua, beliau duduk pada
kaki kiri dan meluruskan yang kanan, dan pada saat duduk di rakaat terakhir,
beliau memasukkan kaki kirinya dan duduk di lantai tempat tempat sholat.”
(Shahih al-Bukhari, juz 3, halaman: 324 [785])
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Maslamah, dari Malik,
dari Nu’aim bin Abdillah al-Mujmir, dari Yahya bin Khallad az-Zuraqi, dari
ayahnya, dari Rifa’ah bin Rafi’ az-Zuraqi, ia berkata: Pada suatu ketika kami
sholat di belakang Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam, pada saat beliau
Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bangun dari ruku’ beliau mengucapkan
{Sami’allaahu liman hamidah} . Kemudian ada seorang laki-laki di belakang
beliau Shollallaahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan: {Rabbanaa wa lakal-hamdu,
hamdan katsiiran thoyyiban mubaarokan fiihi} . Maka setelah selesai
sholat, Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya: ‘Siapa yang mengucapkan
kalimat tadi?’. Lelaki tersebut menjawab: ‘Saya’. Selanjutnya beliau
Shollallaahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Sungguh aku melihat 30 malaikat saling
berebutan untuk menuliskan pahalanya.’ “(Shahih al-Bukhari, juz 3, halaman 277
[757])
Pada saat posisi berdiri tegak, kedua tangan dalam
posisi lurus ke bawah, tidak digerak-gerakkan maupun digoyang-goyangkan, dan
tidak pula dengan posisi bersedekap.
“Diriwayatkan dari Waki’ ia berkata: diriwayatkan dari
Abdussalam bin Syidad Abu Thalut al-Jariri, dari Ghazwan bin Jarir adh-Dhabbiy,
dari ayahnya, ia berkata: bahwasanya Sayyiduna Ali Radhiyallaahu ‘anhu ketika
beliau melaksanakan sholat meletakkan tangan kanan di atas pergelangannya. Dan
hal itu terus dilakukan hingga beliau melakukan ruku’ kecuali untuk memperbaiki
posisi pakaian serta menggaruk badannya.” (Mushannaf ibn Abi Syaibah, juz 2,
halaman 401)
Dari hadits tersebut diketahui bahwasanya Sayyidina
Ali Radhiyallaahu ‘anhu sebagai shahabat terdekat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa
sallam dan banyak mengetahui sholatnya Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam,
beliau hanya bersedekap ketika berdiri sampai ruku’ saja.
Kalimat “فلا يزال كذلك حتى
يركع” yang maknanya “Beliau senantiasa bersedekap hingga beliau
ruku’” menunjukkan bahwa sampai batas itulah bersedekap yang dianjurkan di dalam
sholat, karena tidak ada dalil yang menunjukkan kesunnahan bersedekap ketika
I’tidal. Hal ini disebutkan oleh Syaikh Hasan bin Ali as-Saqafi di dalam
kitabnya Shahih Sifat Sholat an-Nabi:
“Dan makruh bagi orang yang sholat kemudian ia
meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di waktu I’tidal bangun dari
ruku’, sebagaimana banyak dilakukan oleh sebagian orang-orang yang taklid buta.
Sungguh tiada dalil atas hal yang demikian ini.” (Shahih Sifat Shalat an-Nabi
halaman 163)
Selanjutnya setelah sempurna berdiri, disunnahkan
untuk membaca do’a:
“Tuhan kami, bagi Engkau seluruh pujian sepenuh
langit, bumi dan segala sesuatu yang Engkau kehendaki sesudah itu.”
Di dalam kitab Shahih Muslim, disebutkan hadits yang
menjelaskan bacaan do’a tersebut:
“Meriwayatkan Abu Bakr bin Abi Syaibah, meriwayatkan
kepada kami Abu Mu’awiyah dan Waki’ dari al-A’masy dari Ubaid bin al-Hasan dari
ibn Abi Aufa ia berkata: Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam ketika
berdiri dari ruku’ membaca:
” (Shahih Muslim, juz 3, halaman 16 [733])
Berdasarkan hadits tersebut, di dalam kitab Bidayah
al-Hidayah, al-Imam al-Ghazali juga memberikan penjelasan:
“Kemudian angkatlah kepalamu hingga berdiri tegak. Dan
angkat pula kedua tanganmu seraya mengucapkan { Sami’allaahu liman hamidah }.
Dan ketika sudah tegak berdiri beliau membaca do’a { Robbanaa lakal-hamdu
mil-us-samaawaati wa mil-ul-ardhi wa mil-u maa syi’ta min syai’in
ba’du }.“ (Bidayah al-Hidayah, Halaman 46)
Khusus untuk sholat Shubuh, pada raka’at kedua setelah
membaca do’a tersebut, disunnahkan untuk membaca do’a qunut. Imam al-Ghazali
menjelaskan:
“Dan apabila engkau sedang sholat fardhu shubuh, maka
hendaknya membaca do’a qunut di raka’at kedua ketika i’tidal dari ruku’.”
(Bidayah al-Hidayah, halaman 46).
Membaca do’a qunut pada raka’at kedua sholat shubuh
adalah sunnah di dalam madzhab asy-Syafi’iyyah, dan pendapat ini juga pendapat
para shahabat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Di dalam kitab Majmu’ Syarah
al-Muhadzdzab, imam Nawawi Rahimahullaahu Ta’aala menjelaskan:
“Di dalam madzhab kita (madzhab Syafi’iyyah)
disunnahkan untuk membaca do’a qunut di dalam sholat shubuh. Baik ada bala’
maupun tidak, pendapat ini merupakan pendapat kebanyakan ulama salaf dan yang
sesudahnya. Dan diantara yang berpendapat demikian adalah Abu Bakr ash-Shiddiq,
Umar ibn al-Khaththab, Utsman, ‘Ali, Ibn Abbas, dan al-Barra’ ibn Azib
Radhiyallaahu ‘anhum. Demikian diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad
Shahih.” (Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, juz 3, halaman 483)
Dalil yang dijadikan landasan pendapat ini adalah:
“Diriwayatkan dari Abdurrazzaq ia berkata,
diriwayatkan dari Abu Ja’far (ar-Raziy) dari ar-Rabi’ bin Anas dari Anas bin
Malik ia berkata: Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam senantiasa membaca
do’a qunut di waktu sholat shubuh hingga wafat beliau.” (Musnad Ahmad, juz 25,
halaman 242[12196])
“Diriwayatkan dari Anas bahwasanya Nabi Shollallaahu
‘alaihi wa sallam membaca do’a qunut selama satu bulan kemudian beliau
menghentikannya. Adapun di dalam sholat Shubuh beliau senantiasa membaca do’a
qunut hingga wafat beliau.” (Sunan ad-Daruquthni, juz 4, halaman 399[1712])
Sanad hadits ini adalah shahih, sehingga dapat
dijadikan hujjah. Imam Nawawi menjelaskan hal ini di dalam kitabnya Majmu’
Syarah al-Muhadzdzab:
“Hadits yang diriwayatkan dari Anas adalah hadits
shahih yang diriwayatkan dari banyak huffazh ahli hadits dan mereka menyatakan
akan keshahihannya, diantara yang menyatakan shahih adalah al-Hafizh Abu
Abdillah Muhammad bin Ali al-Balkhi, al-Hakim Abu Abdillah di beberapa tempat
di kitabnya dan al-Baihaqi. Dan diriwayatkan pula oleh ad-Daruquthni dari jalur
ini dengan sanad shahih. Dari al-Awwam bin Hamzah ia berkata: `Aku bertanya
kepada Abu Utsman mengenai bacaan qunut di dalam sholat shubuh. Beliau
menjawab: ia dilakukan setelah ruku’. Aku bertanya lagi: Siapa yang menyatakan
demikian? Beliau menjawab: dari Abu Bakr, Umar, Utsman radhiyallaahu ‘anhum.’
Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan beliau berkata: Sanad hadits ini Hasan. Dan
meriwayatkan pula al-Baihaqi dari Umar melalui jalur ini. Dan dari
Abdullah bin Ma’qil seorang Tabi’in, ia berkata: `Sayyiduna Ali Radhiyallaahu
‘anhu senantiasa membaca do’a qunut di waktu sholat shubuh.` Diriwayatkan oleh
al-Baihaqi dan beliau berkata: riwayat dari Sayyidina Ali ini shahih. Dan dari
al-Bara’ Radhiyallaahu ‘anhu ia berkata: `Bahwasanya Rasulullah Shollallaahu
‘alaihi wa sallam membaca qunut di waktu sholat shubuh dan maghrib`
–diriwayatkan oleh Muslim, dan juga oleh Abu Dawud namun beliau tidak
menyebutkan kata “maghrib” di dalam riwayatnya.—Dan tidak mengapa meninggalkan
qunut di waktu sholat maghrib dikarenakan ia bukan kewajiban’. ” (Majmu’ Syarah
al-Muhadzdzab, juz 3, halaman 484)
Bacaan do’a qunut yang masyhur diajarkan langsung oleh
Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam adalah do’a qunut yang diriwayatkan oleh
Sayyiduna Hasan bin Ali bin Abi Thalib:
“Ya Allah, berikanlah kami petunjuk seperti
orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk. Berilah kami kesehatan seperti
orang-orang yang Engkau beri kesehatan. Berilah kami perlindungan seperti
orang-orang yang Engkau beri perlindungan. Berilah berkah terhadap segala
sesuatu yang Engkau berikan kepada kami. Jauhkanlah kami dari segala kejahatan
yang Engkau pastikan. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Menentukan dan Engkau
tidak dapat ditentukan. Dan tidak akan hina orang yang Engkau lindungi. Dan
tidak akan mulia pula orang-orang yang Engkau musuhi. Sungguh Engkau Sang Maha
Pemberi Berkah dan Maha Luhur.” (Sunan Abi Dawud, juz 4, halaman 210).
Disebutkan pula di dalam Sunan an-Nasa’i dengan
penambahan bacaan sholawat { وَصَلَّى اللَّهُ
عَلَى النَّبِيِّ مُحَمَّدٍ } di akhir do’a qunut. (Sunan
an-Nasa’i, juz 6, halaman 259).
Dijelaskan pula oleh Syekh Nawawi al-Bantani di dalam
kitabnya Maraqi al-Ubudiyyah bahwasanya dianjurkan untuk membaca sholawat
kepada Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam di akhir do’a qunut.
“Akan tetapi lebih utama untuk membaca do’a qunut yang
diajarkan oleh Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam:
Dan disunnahkan pula untuk membaca sholawat diakhir
do’a qunut:
” (Maraqi al-Ubudiyyah)
Perihal do’a qunut ini juga dijelaskan oleh Imam
an-Nawawi di dalam kitabnya al-Adzkar pada satu bab khusus tentang do’a qunut.
Bacaan
Sholat
Do’a iftitah
اَللهُ اَكْبَرُ كَبِيْرًا،
وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَاَصِيْلًا
وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّموَاتِ وَالْاَرْضَ
حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا اَناْ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ، اِنَّ صَلَاتِيْ
وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، لَا شَرِيْكَ لَهُ
وَبِذلِكَ اُمِرْتُ، وَاَنَاْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
Bacaan ruku’
سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ وَبِحَمْدِهِ (3)
Bacaan bangun dari ruku’ dan i’tidal
سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ، مِلْءُ
السَّموَاتِ وَمِلْءُ الاَرْضِ وَمِلْءُ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْء بَعْدُ
Bacaan sujud
سُبْحَانَ رَبِّيَ الْاَعْلَى وَبِحَمْدِهِ
Bacaan duduk diantara dua sujud
رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَارْحَمْنِيْ وَاجْبُرْنِيْ وَارْفَعْنِيْ
وَارْزُقنِيْ وَاهْدِنِيْ وَعَافِنِيْ وَاعْفُ عَنِّيْ
Bacaan tahiyyat awwal
اَلتَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ للهِ،
اَلسَّلَامُ عَلَيْكَ اَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ،
اَلسَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ، اَشْهَدُ اَنْ لَا
اِلهَ اِلَّا اللهُ، وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ، اَللَّهُمَّ
صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
Bacaan tahiyyat akhir
اَلتَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ للهِ،
اَلسَّلَامُ عَلَيْكَ اَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ،
اَلسَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ، اَشْهَدُ اَنْ لَا
اِلهَ اِلَّا اللهُ، وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ
سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى
آلِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ، وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ
سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى
آلِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ، فِي الْعَالَمِيْنَ اِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
Do’a qunut
اَللّهُمَّ اهْدِنِيْ
فِيْمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنِيْ فِيْمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِيْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ
لِيْ فِيْمَا اَعْطَيْتَ، وَقِنِيْ شَرَّ مَا قَضَيْتَ، فَاِنَّكَ تَقْضِيْ
وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ، وَاِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، وَلَا يَعِزُّ
مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ، فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا
قَضَيْتَ، اَسْتَغْفِرُكَ وَاَتُوْبُ اِلَيْكَ
اَللّهُمَّ سَلِّمْنِيْ
وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَعَافِنِيْ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَقِنِيْ وَاِيَّاهُمْ شَرَّ
مَصَائِبِ الدُّنْيَا وَالدِّيْنِ
وَصَلَّى اللهُ عَلَى
سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍنِ النَّبِيِّ الْاُمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ
وَسَلَّمَ
Wallaahu a’lam
Insya’ Alloh bersambung.
bermanfaat sekali.. izin share ya ustadz..
BalasHapus